KH. Achmad Shiddiq

KH. Achmad Shiddiq


Rais ‘Aam PBNU 1984-1991, KH Achmad Siddiq sejak muda sudah terlibat dalam perjuangan NU di tengah kolonialisme. Sehingga pada akhirnya, ulama asal Jember, Jawa Timur ini juga ikut terlibat dalam peneguhan Pancasila untuk meneruskan cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers).

Achmad Shiddiq dengan nama kecil Achmad Muhammad Hasan, lahir di Jember pada hari Ahad Legi 10 Rajab 1344 (tanggal 24 Januari 1926). Ia adalah putra bungsu Kyai Shiddiq dari lbu Nyai Zaqiah (Nyai Maryam) binti KH Yusuf. Banyak yang mengira, Kyai Achmad mewarisi sifat dan gaya berpikir kakaknya yaitu Kyai Mahfudz Shiddiq. Kyai Achmad memiliki perangai sabar, tenang dan cerdas. Hal itu tampak dari keilmuannya yang mendalam, baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum.

Sebagaimana lazimnya Putra Kyai yang menimba Ilmu di Pesantren, Kyai Mahfudz pun mengirim Kyai Achmad menimba ilmu di Tebuireng. Semasa di Tebuireng, KH. Hasyim Asy'ari melihat potensi kecerdasan pada Achmad, sehingga, kamarnya pun dikhususkan oleh Kyai Hasyim. Achmad dan beberapa putra-putra Kyai dikumpulkan dalam satu kamar. Pertimbangan tersebut bisa dimaklumi, karena para putra Kiai (dipanggil Gus atau lora atau Non) adalah putra mahkota yang akan meneruskan pengabdian ayahnya di pesantren, sehingga pengawasan, pengajaran dan pembinaannya cenderung dilakukan secara khusus lain dari santri umumnya.

Perjuangan Kyai Achmad dalam mempertahankan kemerdekaan dimulai dengan jabatannya sebagai Badan Eksekutif Pemerintah Jember, bersama A Latif Pane (PNI), P. Siahaan. (PBI) dan Nazarudin Lathif (Masyumi). Pada saat itu, bupati dijabat oleh Soedarman, Patihnya R Soenarto dan Noto Hadinegoro sebagai sekretaris Bupati. Pada tahun 1947, Kyai Achmad turut berjuang bersama pasukan Mujahidin (PPPR). Saat itu Belanda meluncurkan Agresi Militer yang pertama. Namun merasa kesulitan membasmi PPPR, karena anggotanya adalah para kyai. Agresi Militer pertama kemudian menimbulkan kecaman internasional terhadap Belanda sehingga muncullah Perjanjian Renville.

Perjanjian Renville memutuskan sebagai berikut:

1. Mengakui daerah-daerah berdasar Perjanjian Linggarjati

2. Ditambah daerah-daerah yang diduduki Belanda lewat Agresi harus diakui Indonesia

Sebagai konsekuensi Perjanjian Renville, maka pejuang-pejuang di daerah kantong (termasuk Jember) harus hijrah. Para pejuang dari Jember kebanyakan mengungsi ke Tulungagung. Di sanalah Kyai Achmad mempersiapkan pelarian bagi para pejuang yang mengungsi tersebut. Pengabdiannya di pemerintahan diawali sebagai kepala KUA Situbondo. Saat itu, Departemen Agama dikuasai oleh tokoh-tokoh NU. Menteri Agamanya adalah KH. Wahid Hasyim. Karirnya di pemerintahan melesat cepat. Dalam waktu singkat, Kyai Achmad Shiddiq menjabat sebagai Kakanwil Departemen Agama di Jawa Timur.

Kiai Achmad Siddiq merupakan arsitek dalam rancangan NU kembali ke Khittah 1926 dengan menuliskan Khittah Nahdliyyah, risalah penting untuk memahami Khittah NU serta penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi dengan menyusun deklarasi hubungan Pancasila dengan Islam dibantu KH Abdurrahman Wahid, dan kiai-kiai lainnya pada tahun 1983-1984. Upaya yang kini menjadikan NU sebagai civil society dengan peran kuat tanpa melibatkan diri dalam politik praktis dan meneguhkan eksistensi Pancasila menunjukkan bahwa para kiai NU tidak begitu saja melakukan langkah tanpa disertai argumentasi-argumentasi logis dan akademis demi kepentingan jangka panjang bangsa Indonesia.

Munas Ulama NU yang berlangsung di Situbondo pada bulan Desember 1983, KH Achmad Shiddiq menjelaskan makalahnya tentang “Penerimaan Asas Tunggal Pancasila bagi NU”. Beliau menyampaikan pokok-pokok fikiran dan berdialog tanpa kesan apology. Beliau mengungkapkan argumentasi secara mendasar dan rasional dari segi agama, historis maupun politik. Kiai Achmad Siddiq sendiri menjelaskan secara gamblang Pancasila sebagai asas dalam sudut pandang teologis. Dalam Al-Qur’an, tiga kali dipergunakan lafadh asas yang ketiga-tiganya mengenai asas pendirian masjid (ibadah), yaitu takwa.

Ayat yang menjelaskan hal tersebut ada dalam Qur’an Surat At-Taubah ayat 108-109. Sesungguhnya menurut ajaran Islam, ikhlas dan takwa itulah yang mutlak asasi. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Bayyinah ayat 5. Seperti para ulama pendiri NU yang mencukupkan diri dengan asas ikhlas dan takwa dalam amal ibadah dan amal perjuangannya. Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi asas bangsa Indonesia. Deklarasi hubungan Islam dan Pancasila dalam pandangan Kiai Achmad Siddiq bukan berarti menyejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena hal itu dapat mengecilkan Islam dengan ideologi atau isme-isme tertentu.

Nama Kyai Achmad melejit bak bintang kejora dalam Munas Ulama NU Situbondo. Tak heran, dalam Muktamar NU ke 27 itu, Kyai Achmad Shiddiq terpilih sebagai Ro’is Aam PBNU, sedangkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Ketua Umum Tanfidziyah. Sungguh bentuk pasangan yang ideal.


Sumber:

https://www.nu.or.id/fragmen/kh-achmad-siddiq-menjelaskan-tentang-asas-dalam-pancasila-Y4Vaq

https://wongjember.com/biografi-achmad-shiddiq/